Tak dimungkiri, belakangan ini masyarakat—terutama generasi Z—lebih aware dengan kondisi kesehatan mental. Mereka bahkan tergerak untuk mencari bantuan profesional, seperti psikolog, psikiater, dan konselor. Sayangnya, sebagian orang belum memahami perbedaan ketiga profesi tersebut.
Lalu, apa yang membedakan psikolog, psikiater, dan konselor?
Seorang psikolog setidaknya melalui enam tahun masa pendidikan di jurusan psikologi, sekaligus praktik yang diawasi tenaga ahli. Mereka juga bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat master dan doktor, lalu menerima gelar “Dr.” yang berbeda dari dokter medis.
Sementara psikiater adalah dokter medis, yang setidaknya telah melewati masa pendidikan kurang lebih 11 tahun. Awalnya, mereka menyelesaikan pendidikan kedokteran, kemudian menjalani satu hingga dua tahun pengalaman sebagai dokter umum. Barulah kembali mengikuti pelatihan selama lima tahun, untuk menangani penyakit mental secara medis.
Sedangkan seorang konselor, biasanya telah menyelesaikan pendidikan jurusan konseling yang memiliki area fokus beragam. Seperti pertumbuhan, perkembangan, dan hubungan antarmanusia, hubungan sosial dan budaya, serta konseling karier.
Perbedaan psikolog, psikiater, dan konselor berikutnya terletak pada peran dalam profesinya. Dikarenakan perbedaan latar pendidikan, psikolog, psikiater, dan konselor juga memiliki peran dan kapasitas berbeda dalam membantu menangani keluhan seseorang.
Tugas psikolog biasanya berfokus menangani keluhan klien, dengan memberikan penanganan psikologi. Yakni membicarakan permasalahan yang dihadapi, dan berfokus pada pola perilaku. Misalnya ketika seseorang mengalami gangguan kecemasan. Psikolog bertugas menganalisis pola tidur, frekuensi munculnya kecemasan, dan pikiran negatif yang muncul.
Kemudian, mereka akan terus berkomunikasi dengan klien supaya bisa membantu membentuk kebiasaan baru, untuk mengatasi gangguan kecemasan itu.
Serupa dengan psikolog, psikiater juga akan memberi penanganan psikologi. Bedanya terletak pada adanya penanganan medis, seperti mengecek kesehatan fisik. Pengecekan itu akan membantu memberikan diagnosis, apakah kliennya mengalami penyakit mental.
Sementara peran konselor dalam konseling kurang lebih sama dengan psikolog. Bedanya, mereka tidak melibatkan asesmen klinis, yang mencakup kepribadian. Jadi, mereka tidak mendiagnosis gangguan mental.
Dikarenakan berfokus melakukan asesmen pada pola perilaku, psikolog tidak memberikan kliennya obat. Mereka cenderung berkomunikasi dengan pasien.
Sedangkan psikiater dapat memberikan resep obat, karena mereka memonitor dampak penyakit mental pada kondisi kesehatan fisik, serta hubungan antara keduanya. Di samping itu, ada penanganan medis lain yang diberikan, yakni psikoterapi dan electroconvulsive therapy (ECT).
Sementara konselor, mereka fokus membantu klien mengatasi masalah kesehatan mental dengan mendengarkan keluhan klien. Kemudian mengembangkan rencana perawatan nonmedis, dan memberikan evaluasi profesional yang membantu klien meningkatkan kemampuannya, dalam mengatasi masalah dan mengambil keputusan.
Berkaca pada penjelasan sebelumnya, terlihat bahwa psikolog umumnya menangani kondisi yang tidak terlalu kronis ataupun memerlukan penanganan medis. Contohnya kecemasan, depresi ringan, masalah kemampuan belajar, dan pola perilaku.
Kemudian, psikiater akan menangani kondisi yang lebih kompleks dan memerlukan penanganan medis. Misalnya depresi akut, skizofrenia, dan gangguan bipolar. Sedangkan konselor hanya meliputi penanganan keluhan atas tekanan dalam kehidupan sehari-hari, konflik dengan pasangan, perkembangan manusia dari anak-anak hingga dewasa, dan perihal multikultural dan keberagaman. Kendati demikian, konselor tetap tidak bisa memberikan asesmen klinis maupun psikoanalisis.
Melansir CNN Indonesia, ada beberapa indikator yang menjadi penanda bahwa ANda perlu ke psikolog:
Kecemasan yang muncul secara terus-menerus merupakan tanda Anda perlu berkonsultasi dengan psikolog. Apabila dibiarkan, kondisi ini akan berdampak pada kehidupan sehari-hari, hingga menyebabkan serangan panik. Kemungkinan lainnya, seseorang juga mungkin menghindari banyak hal atau menjauh dari orang lain.
Dengan menurunnya kesehatan mental, otomatis produktivitas Anda juga menurun. Umumnya, seseorang akan kesulitan fokus dan menyelesaikan pekerjaan. Bahkan tak ada semangat untuk beranjak dari kasur dan melakukan kegiatan sehari-hari.
Dampak dari situasi ini juga menimbulkan berkurangnya konsentrasi, mudah marah, sering mengantuk, dan lupa pada tugas.
Selain berdampak pada kesehatan mental, stres juga berpotensi memengaruhi gangguan fisik. Di antaranya adalah gangguan pencernaan, sakit kepala, hingga melemahkan sistem kekebalan tubuh.
Di samping itu, nyeri otot juga bisa muncul tiba-tiba walaupun Anda tidak habis berolahraga. Bahkan juga menimbulkan sakit leher, atau tekanan emosional yang menjadi ciri-ciri stres lainnya.
Jika Anda mengonsumsi alkohol maupun obat-obatan, bahkan sampai ketergantungan, mungkin saatnya Anda mengonsultasikan keadaan yang dihadapi pada profesional. Dikhawatirkan, alkohol dan obat-obatan merupakan coping mechanism dari situasi yang dihadapi.
Selain itu, cermati perubahan nafsu makan. Nafsu makan yang berubah, baik meningkat maupun psikolog, bisa menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan. Siapa tahu, Anda mengalami stress eating atau melepaskan stres dan kecemasan lewat makanan.
Stres maupun gangguan kesehatan mental lainnya juga cenderung membuat seseorang kehilangan gairah. Salah satunya dalam melakukan aktivitas yang awalnya disenangi—sesederhana menonton film atau serial televisi, jalan-jalan, dan membaca buku.
Kondisi ini diikuti dengan perasaan tak memiliki tujuan, maupun perasaan bahagia. Jika sedang dalam situasi ini, sebaiknya Anda berkunjung ke profesional untuk mengonsultasikan kondisi yang sedang dialami.
Apabila perlu mengonsultasikan masalah sehari-hari, Anda bisa menemui psikolog atau konselor. Namun, jika terdapat gejala gangguan kesehatan mental yang mengganggu aktivitas dan produktivitas, sebaiknya Anda menemui psikiater.
Jika ragu, Anda bisa menemui siapa pun dari ketiganya yang dirasa tepat. Pada akhirnya, Anda berani mencari bantuan profesional untuk mengatasi kondisi yang sedang dihadapi.